Begini Perbedaan Kampanye Hitam Dan Kampanye Negatif Dalam Islam
Suasana politik semakin memanas, kampanye hitam dan kampanye negatif silih berganti dilakukan oleh kedua belah pihak yang berseteru. Apa bedanya antara kedua kampanye ini?
Kampanye bisa disebut sebagai kampanye hitam jika materi kampanye tidak sesuai dengan kenyataan atau mengada-ada. Isi kampanye cenderung mengandung fitnah dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.Sementara, kampanye negatif adalah kampanye yang materinya nyata adanya atau pernah terjadinya.
Kita tidak memungkiri adanya kampanye hitam, dan itu tidak dibolehkan. Tapi yang perlu digaris-bawahi di sini adalah tidak semua tindakan menyebar berita negatif tentang salah satu calon menjadi kampanye hitam. Tetapi dikatakan kampanye hitam bila beritanya bohong. Adapun bila beritanya benar, maka namanya kampanye negatif, dan ini masuk ghibah yang dibolehkan karena adanya maslahat yang besar bagi Islam dan kaum muslimin ketika menjelaskan kebobrokan dan kejelekan salah satu calon.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras kampanye hitam, menuduh tanpa bukti alias menfitnah. Ini jelas suatu kebohongan. Namun jika yang dilakukan adalah kejelekan yang benar nyata ada pada orang lain, itu disebut ghibah. Ghibah itu dibolehkan kala ada maslahat.
Imam Nawawi telah menjelaskan haramnya ghibah berdasarkan hadits yang penulis bawakan di atas. Begitu juga menfitnah juga diharamkan. Namun kata beliau, ghibah (menggunjing) dibolehkan jika ada tujuan syar’i di dalamnya. Misalnya kata beliau, boleh mengghibah kala mengingatkan suatu kejelekan. Seperti halnya yang dilakukan oleh para ulama pengkritik perawi hadits. Seperti ini dibolehkan menurut ijma’, kata sepakat para ulama.
Sebagaimana juga kata Imam Nawawi ketika ada orang yang masih ragu akan kejelekan orang lain dalam hal kefasikan atau kebid’ahan yang ia lakukan. Lantaran ketidaktahuan ini, orang seperti itu yang akhirnya diambil ilmunya. Ia pun samar akan bahaya yang akan menimpa dirinya. Maka orang yang belum tahu seperti ini perlu diberikan penjelasan. Lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 129.
Jadi, bersikaplah husnuzhon (berprasangka baik) ketika ada yang mengingatkan akan bahayanya salah satu calon presiden yang hanya menghias dirinya hingga terlihat apik lewat pencitraan media. Seakan-akan dialah yang pro rakyat dan pro wong miskin. Padahal di balik itu, ia didukung oleh non muslim, juga oleh perusak Islam seperti kalangan Syi’ah. Ia pun selalu memenangkan kaum minoritas dibanding kaum muslimin yang mayoritas. Itulah mengapa hal ini perlu dijelaskan di tengah-tengah umat. Dan itu bukan kampanye hitam, namun ghibah yang dibolehkan. Hal ini pun masih dalam aturan kaedah fikih,
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
Namun suatu yang haram tersebut diterjang hanya seperlunya saja.
الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Keadaan darurat diambil sesuai kadarnya.”
Hanya Allah yang memberi taufik.