Pemilihan umum (Pemilu) seringkali dimaknai sebagai pesta demokrasi. Pemilihan umum menjadi bagian penting sebagai standar dan/atau kriteria awal apakah sebuah negara dikategorikan demokratis atau non-demokratis. Syarat negara demokratis, yang di dalamnya termasuk adanya pergantian pemimpin secara berkala, menuntut untuk perlu diadakan pemilihan umum secara rutin dalam kurun waktu tertentu pula. Namun sebenarnya, momentum pemilihan umum dapat dimaknai lebih dari sekadar memilih dan/atau merotasi pemimpin. Pemilu adalah salah satu langkah awal dalam upaya melakukan transformasi dan perbaikan secara struktural demi tercapainya tujuan-tujuan mulia berbangsa dan bernegara menggunakan instrumen kekuasaan rakyat. Sejalan dengan hal itu, jika dikaitkan dengan konteks keumatan Islam, maka pemilihan umum harus dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi, sekaligus upaya pembenahan dan perbaikan, serta perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya bagi kepentingan dan aspirasi umat Islam.
Kajian ini bermaksud untuk memberikan pemahaman secara kompleks dan menyeluruh mengenai pentingnya memandang pemilihan umum sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan umum, di samping adanya kewajiban agama dalam memilih pemimpin yang baik sesuai anjuran Al-Quran dan Sunnah. Maka dari itu, dalam kajian ini, dijelaskan terlebih dahulu konsep demokrasi yang mulanya memang muncul di negara-negara Barat. Seiring perkembangan, demokrasi sebagai sebuah nilai dan sistem masuk ke negara-negara Muslim, dan mendapat respons dari kalangan intelektual Muslim di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Penerimaan atas demokrasi di beragam negara, termasuk Indonesia, memunculkan satu norma baru yang harus dijalankan oleh semua negara yang menyatakan dirinya “demokrasi”, yaitu memilih pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum. Selanjutnya, dimuat secara singkat sejarah pemilihan umum di Indonesia dan pertautannya dengan kepentingan umat Islam. Selain itu, dipaparkan pula alasan-alasan yang mendasari pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu bagi umat Islam. Kajian ini akan sampai pada sebuah kesimpulan yang menyatakan, bahwa berdasarkan hubungan antara kewajiban memilih pemimpin dan upaya artikulasi kepentingan umat sekaligus mewujudkan kemaslahatan umum, maka turut serta dalam pemilihan umum (memilih/mencoblos) dirasa sangat penting dan diperlukan adanya.
KONSEP DEMOKRASI BARAT
Demokrasi, sebuah kata yang sering sekali muncul, ketika seseorang membicarakan perihal hukum, politik, sosial budaya, maupun pemerintahan. Dalam konteks pemerintahan, sekarang ini demokrasi telah menjadi gagasan yang sangat terkenal di seluruh dunia. Kebanyakan rezim berusaha menyatakan dirinya demokrasi, dan rezim yang tidak demokratis pun seringkali bersikeras menyatakan, bahwa keadaan khusus mereka yang tidak demokratis itu merupakan suatu tahap yang penting untuk akhirnya sampai pada “demokrasi”.1 Maka dari itu, seiring perkembangannya, kita mengenal beragam istilah demokrasi dengan beragam penerjemahannya pula, seperti Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Kerakyatan, Demokrasi Soviet, Demokrasi Sosialis, Demokrasi Liberal, Demokrasi Pancasila, dan sebagainya.
Secara bahasa, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat, berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Secara historis, istilah demokrasi dan pelaksanaannya telah ada sejak abad ke-5 SM, yang pada awalnya muncul sebagai reaksi terhadap pengalaman buruk atas monarki dan kediktatoran di negara-kota (polis) Yunani Kuno.2 Dalam pandangan Robert A. Dahl, bentuk pemerintahan rakyat yang terjadi di Yunani Kuno adalah suatu transformasi demokrasi pertama, saat warga negara merasakan sebagai orang-orang yang setara, dan sama-sama berdaulat dalam memerintah dan menjalankan roda pemerintahan. Demokrasi yang pertama itu adalah demokrasi yang kecil ruang lingkupnya, berbentuk demokrasi langsung, dengan pengertian tidak mengenal demokrasi perwakilan.3 Dalam perkembangannya, demokrasi langsung bertransformasi menjadi demokrasi perwakilan karena adanya pergeseran lokus dari yang awalnya demokrasi terjadi di negara-kota menuju kawasan bangsa atau negara yang jauh lebih luas. Konsep perwakilan yang asal-usulnya merupakan sesuatu yang tidak demokratis, telah diambil sebagai unsur yang sangat penting dari demokrasi modern.4
Hampir serupa dengan demokrasi awal di Yunani Kuno, sehingga terlihat seperti pengulangan sejarah, ide-ide demokrasi modern mengemuka sebagai respons terhadap monarki absolut Abad Pertengahan yang dikuasai oleh gereja (teokrasi). Di masa ini, ide demokrasi modern berkembang seiring dengan adanya ide sekularisme yang diprakarsai oleh Machiavelli, ide kontrak sosial oleh Thomas Hobbes, gagasan tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan oleh John Locke, yang disempurnakan oleh Mostesquieu yang idenya mengenai pemisahan kekuasaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta ide-ide tentang kedaulautan rakyat dan kontrak sosial yang dikenalkan oleh J.J. Rousseau.5 Pada hakikatnya, semua gagasan itu merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut, dan menetapkan hak-hak asasi sekaligus politik rakyat.6 Hal ini menunjukkan, bahwa demokrasi didefinisikan dalam pengertian yang lebih menekankan aspek filosofis, yakni ide kedaulatan rakyat sebagai antitesis dari kedaulatan Tuhan (gereja), dan kekuasaan rakyat sebagai lawan dari kekuatan monarki. Gagasan bahwa manusia memiliki hak-hak politik dan kebebasan, akhirnya menimbulkan dua revolusi besar dunia, yaitu revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789), yang membawa perkembangan demokrasi pada bentuk dan pencapaian seperti sekarang ini.7
Memasuki abad ke-20, demokrasi coba diarahkan dan dirumuskan sebagai sebuah sistem politik, sehingga terkesan pemaknaannya lebih pragmatis, yaitu meliputi unsur-unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan bertanggung jawab. Hal ini nampak dari pengertian demokrasi yang dirumuskan oleh International Commision of Jurist, bahwa sistem politik yang demokratis adalah: “a form of government where citizens exercise the same right (the right to make political decisions), but through representatives chosen by them and responsible to them through the process of free elections”. Inilah yang dinamakan demokrasi berdasarkan perwakilan atau “demokrasi perwakilan”.8 Pengertian ini hampir sejalan dengan pengertian dari Philippe Schmitter dan Terry L. Karl yang menjelaskan bahwa demokrasi politik adalah: “suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama para wakil mereka yang terpilih”.9
Istilah demokrasi juga dianggap sebagai kata yang mengimplikasikan nilai-nilai, perjuangan untuk kebebasan, dan jalan hidup yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya persoalan metode kekuasaan atas dasar suara mayoritas, melainkan suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur moral, di antaranya yaitu: nilai persamaan, nilai kebebasan, dan penghargaan terhadap pluralitas yang semuanya dibingkai dalam satu term, “Hak Asasi Manusia” (HAM).10 Meskipun dalam tataran operasional, konsep dan nilai dilaksanakan secara beragam bentuknya tergantung kondisi sosial budaya masyarakat di suatu negara.
Robert Dahl memberikan tujuh kriteria yang harus ada dalam sistem yang demokratis, yaitu:11
- Para pejabat yang dipilih. Kontrol dan pengawasan atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan, secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang dipilih;
- Pemilihan umum yang bebas dan adil. Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang diselenggarakan dengan rutin, jujur, dan adil, tanpa adanya paksaan;
- Hak suara yang inklusif. Dapat dikatakan semua orang dewasa berhak memberikan suara dalam pemilihan para pejabat;
- Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Secara praktis, semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di pemerintah, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketat dari hak pilihnya;
- Kebebasan menyatakan pendapat. Warga negara berhak untuk menyatakan pendapat tanpa adanya bahaya hukuman yang kerasa mengenai masalah-masalah politik dalam arti luas, termasuk kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial- ekonomi dan ideologi yang ada;
- Informasi Warga negara berhak mencari dan mendapatkan sumber informasi alternatif. Lagipula, sumber-sumber informasi alternatif itu ada dan dilindungi Undang- Undang;
- Otonomi asosiasional. Untuk mendukung hak-hak warga negara, termasuk hak-hak yang dinyatakan di atas, mereka juga mempunyai hak untuk membentuk asosiasi- asosiasi atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang
Kriteria-kriteria yang disampaikan oleh Dahl, tidak berbeda jauh dengan nilai yang harus ada dalam demokrasi seperti dirumuskan oleh Henry B. Mayo, yaitu: sistem yang dibentuk mampu menyelesaikan perselisihan secara damai dan secara melembaga (institusional); menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang berubah; menyelenggarakan pergantian pemimpin secara berkala; membatasi pemakaian kekerasan; mengakui adanya keberagaman; dan menjamin tegaknya keadilan.12 Selain itu, jika menilik hasil konferensi dari International Commision of Jurist, maka disebutkan pula, bahwa syarat-syarat dasar terbentuknya pemerintahan demokratis adalah adanya perlindungan konstitusional, badan kehakiman yang bebas, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat, dan adanya pendidikan kewarganegaraan.13 Berdasarkan kriteria, nilai, maupun syarat terbentuknya sistem yang demokratis sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, maka ada satu hal yang selalu hadir dan tidak pernah absen, yakni: pemilihan umum yang bebas dan adil. Pemilihan umum menjadi instrumen penting dalam demokrasi karena berhubungan langsung dengan kedaulatan rakyat. Maka dari itu, sebagai bentuk operasionalisasi dari instrumen tersebut, setiap warga negara diberikan hak untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka di pemerintahan untuk jangka waktu tertentu. Seperti yang telah disebut sebelumnya, pada akhirnya inilah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan14 (representasi).
RESPONS INTELEKTUAL ISLAM ATAS DEMOKRASI
Saat ini, demokrasi telah menjadi istilah yang secara umum diterima dan dipromosikan oleh hampir semua pemerintahan di dunia. Dalam konteks Islam, demokrasi adalah satu istilah dan gagasan baru, meskipun nilai-nilai universal yang terkandung dalam demokrasi sebagian besar telah terangkum dalam ajaran Islam. Maka dari itu, ketika memandang “demokrasi” sebagai sebuah sistem yang asal muasalnya berasal dari peradaban Barat, muncul beragam respons dari kalangan Muslim terkait hal ini. Ada yang menerima sebagai pandangan hidup dan keharusan sejarah. Ada yang mengkritisi. Dan ada juga yang menolaknya mentah-mentah, baik istilah maupun konsepnya. Respons intelektual Muslim atas demokrasi dibahas secara mendalam oleh Prof. Masykuri Abdillah, dalam disertasi doktornya di Departemen Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah Universitas Hamburg, yang berjudul “Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (1966-1993). Berdasarkan hasil penelitiannya, Masykuri menyatakan bahwa intelektual Muslim di Indonesia cenderung menerima dan bahkan mendukung sistem demokrasi sebagai sesuatu yang harus dipraktikkan dalam masyarakat Islam. Hal ini berbeda dengan respons dari intelektual Muslim di luar Indonesia yang masih seringkali mempertanyakan dan memperdebatkan sistem demokrasi dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara.15 Berdasar pada penerimaan atas istilah dan konsep demokrasi ini, maka pemilihan umum dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan, dan memilih pemimpin melalui prosedural pemilu dianggap sebagai konsekuensi logis yang hasilnya harus tetap diarahkan pada kepentingan umat Islam secara menyeluruh.
Beberapa ulama, intelektual, dan aktivis memang secara terang menyatakan keharaman atas penggunaan istilah dan konsep demokrasi. Demokrasi dengan penitikberatan utama pada kedaulatan rakyat, termasuk di dalamnya perihal pemilihan pemimpin melalui prosedur suara terbanyak, dipandang meniadakan kedaulatan Allah atas manusia. Istilah demokrasi pun tidak berasal dari kosakata Islam sehingga tidak layak untuk digunakan. Pendapat ini dikemukakan oleh Hafizh Shalih16 dan Adnan Ali Ridha17. Dalam cakupan yang lebih luas, kelompok Hizbut Tahrir dan sebagian Salafi secara lantang menyuarakan penolakan terhadap demokrasi. Hizbut Tahrir dalam kitab karya Abdul Qadim Zallum yang berjudul Al-Dimuqratiyyah Nizham Kufr:
Yahramu Akhdzuha aw Tathbiquna aw Ad-Da’watu Ilaiha (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Demokrasi Sistem Kufur: Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya), menyimpulkan bahwa demokrasi yang dijajakan oleh barat adalah sistem kufur, dan kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskannya maupun mendirikan partai-partai berdasarkan demokrasi.18 Sikap Hizbut Tahrir berbeda dengan Ikhwanul Muslimin dan berbagai kelompok Islam lain yang menerima demokrasi secara kritis.19 Perbedaan pemaknaan atas demokrasi ini berimplikasi pada ranah praktik yang dilakukan masing-masing kelompok, dimana Hizbut Tahrir dan Salafi cenderung menolak untuk ikut serta dalam pemilihan umum, sementara Ikhwanul Muslimin ikut ambil bagian dalam perebutan suara di pemilihan umum. Dalam pandangan lain, sebagian intelektual Muslim menerima istilah demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam, di antaranya adalah Hamid Enayat, Fazrul Rahman, Muhammmad Asad, dan Javid Iqbal. Pandangan Muhammad Asad contohnya, menyatakan bahwa Majelis Legislatif (Syura) -DPR di Indonesia- harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula pendapat Javid Iqbal20 yang menekankan pentingnya pemilihan pemimpin yang sesuai dengan prinsip Islam dan memperhatikan implementasi syariah di dalam penyelenggaraan negara. Perspektif lain menyatakan, bahwa konsep nilai-nilai demokrasi telah tercantum dalam beberapa ayat Al-Quran dan Sunnah yang menetapkan pentingnya musyawarah dan pemilihan pemimpin berdasarkan bai’at dari umat.
Namun begitu, tetap terdapat beberapa telaah kritis dari intelektual dan pakar Islam atas hubungan antara Islam dan demokrasi. Salah satunya dikemukakan oleh Prof. Hasbi as- Shiddieqy, pakar hukum Islam, dalam bukunya berjudul Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Ia menyebut, bahwa ada sejumlah perbedaan antara Islam dan demokrasi, yaitu: Pertama, dari segi rakyat. Demokrasi modern, rakyat dibatasi oleh batas-batas geografis yang hidup dalam suatu negara, tetapi dalam Islam yang pokok adalah kesatuan akidah. Kedua, tujuan demokrasi barat adalah maksud keduniaan, atau tujuan material belaka. Hal ini berbeda dengan tujuan kenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun: “Imamah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali pada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syarak harus disesuaikan dengan segala kemaslahatan akhirat”. Ketiga, kekuasaan rakyat dalam demokrasi barat adalah mutlak. Dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada Al-Quran dan Sunnah.21
Intelektual Muslim di Indonesia mayoritas telah menerima kriteria dasar demokrasi, berupa pemerintahan mayoritas, partisipasi politik rakyat, pemilihan yang bebas, dan akuntabilitas. Namun masih terdapat perbedaan pendapat apabila masuk ke ranah filosofis, seperti hakikat kedaulatan rakyat vis a vis kedaulatan Allah. Hal ini menunjukkan, bahwa Muslim di Indonesia cenderung menerima demokrasi dari arti prosedural dan organisatoris, tidak dalam arti filosofis, karena hampir semua tetap mengakui supremasi syariah sebagai standar norma kehidupan Muslim dalam berbangsa dan bernegara. Maka dari itu, ketika dihadapkan pada fenomena pemilihan umum secara langsung yang sifatnya prosedural, umat Muslim Indonesia tidak mempermasalahkan hal tersebut, justru memanfaatkannya sebagai momentum untuk memasukkan kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan bagi umat.
Secara umum, dukungan terhadap demokrasi oleh kalangan Islam didasari atas dua hal utama, yakni pertama, nilai-nilai demokrasi sejalan dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama prinsip musyawarah. (QS. Ali Imran: 159 dan QS. Asy-Syura: 38). Kedua, sistem demokrasi merupakan cara yang tepat untuk mengartikulasikan aspirasi Islam, karena umat Islam adalah terbanyak di Indonesia22, sedangkan demokrasi mengandung aspek pemerintahan mayoritas.23 Selain itu, mereka juga memperkuat dukungan terhadap demokrasi dengan mendasarkan pada aspek historis di masa Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidin.
PENTINGNYA PEMILIHAN UMUM BAGI UMAT ISLAM
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dengan singkat tentang demokrasi dan respons intelektual Muslim di dunia dan Indonesia terhadapnya, maka dapat ditarik satu kesimpulan, bahwa dalam konteks Indonesia, demokrasi telah diterima sebagai sebuah praktik yang umum. Maka dari itu, pemilihan umum menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi, termasuk Indonesia. Negara yang menyatakan dirinya demokratis wajib mengadakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin secara rutin, dan harus berlandaskan pada asas pemilu demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Semenjak awal kemerdekaan di tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan sebanyak 11 kali Pemilu dengan rincian sebagai berikut: 1. periode 1945-1967, Pemilu digelar satu kali (tahun 1955); 2. Periode 1967-1998 diadakan sebanyak enam kali (tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997): 3. Periode 1999-2014 diselenggarakan empat kali (tahun 1999, 2004, 2009, 2014), dan dalam waktu dekat akan segera dihelat Pemilu yang kelima semenjak masa reformasi (April 2019). Dari Pemilu yang sebanyak itu, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia dari masa ke masa memiliki perbedaan satu sama lain, tergantung model kepemimpinan dari pemimpin yang berkuasa. Dari Pemilu yang sebanyak itu pula, umat Islam telah turut serta menyemarakkan pesta demokrasi di negeri ini, baik sebagai peserta Pemilu dengan cara membentuk partai politik, ataupun sekadar menjadi pemilih yang suaranya diperebutkan oleh peserta. Dalam konteks Pemilu 2019 ini, umat Islam bukan hanya dihadapkan pada pemilihan perwakilan di Dewan Perwakilan, melainkan juga pemilihan pemimpin negara secara langsung untuk yang keempat kalinya, setelah Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014.
Terdapat beberapa argumentasi teologis maupun logis pentingnya partisipasi politik umat Islam dalam konteks demokrasi di Indonesia, khususnya Pemilu, yang akan dimuat dalam uraian singkat di bawah ini, di antaranya:
a. Kewajiban Umat Islam untuk Memilih dan Mengangkat Pemimpin
Berdasarkan kitab klasik berjudul Al-Ahkaamus-sulthaaniyyah wal wilaayaatud- diiniyyah karangan Imam al-Mawardi (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam), disebutkan bahwa Allah SWT telah menggariskan kepada umat untuk memilih pemimpin yang menjadi pengganti dan pelanjut fungsi kenabian, menjaga terselenggaranya ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat Islam ataupun tidak bertentangan dengannya, dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan) dan Imarah adalah dasar bagi terselenggaranya ajaran-ajaran Islam dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman dan sejahtera. Maka dari
itu, pengangkatan dan pemilihan pemimpin (kepala negara) untuk memimpin umat adalah wajib menurut ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat.24 Jika argumentasi didasarkan pada syariat, maka terdapat ayat al-Quran yang seringkali dikutip oleh para ulama tentang pentingnya kepemimpinan, yaitu surat an-Nisaa’ ayat 59 yang memiliki arti:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu…..” (a-Nisaa’: 59).
Ayat di atas menerangkan, bahwa setiap Muslim perlu untuk menaati pemimpin yang telah diangkat, dipilih, atau ditunjuk di antara mereka selama masih menjalankan kepemimpinan berdasar tuntunan dan ajaran agama.
Selain itu, disebutkan pula oleh al-Mawardi, bahwa kepemimpinan atau kekuasaan lahir dari bai’at yang mensyaratkan adanya akad (kontrak) antara pemimpin dan dewan pemilih25. Dalam konteks masa kini, ketika hak untuk memilih ada di tangan seluruh rakyat, bukan pada dewan pemilih, proses pemindahan atau penyerahan kekuasaan dan otoritas kepada pemimpin adalah dalam rangka melakukan akad. Berdasar pada kontrak inilah, pemimpin mendapat legitimasi dari rakyat untuk memerintah dan berhak untuk ditaati oleh rakyat. Di samping itu, pemimpin juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka, dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab.26 Dalam konsep teori politik barat, pandangan al- Mawardi ini hampir serupa dengan John Locke tentang kontrak sosial yang dimuat dalam bukunya berjudul Two Treatises of Government. Menurut Locke, sebagai konsekuensi dari adanya kontrak sosial antara penguasa/pemimpin di satu pihak dan rakyat di pihak lain, pemerintahan itu merupakan suatu trust (amanah) sedangkan rakyat sebagai trustor dan sekaligus beneficiary (pemberi amanah sekaligus kepentingannya sebagai yang diamanatkan).27 Hal ini mampu menunjukkan, bahwa kepemimpinan yang wajib tadi harus dilegitimasi oleh rakyat dalam bentuk akad yang diimplementasikan melalui pencoblosan di Pemilu.
Menurut jumhur ulama, membentuk negara, menyelenggarakan pemerintahan, dan mengangkat kepala negara adalah wajib kifayah. Beberapa alasan yang mendasari hal tersebut adalah dalam rangka melanjutkan kepemimpinan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW, menghindari bahaya dan mencegah kemudharatan, serta melaksanakan berbagai kewajiban dan mewujudkan keadilan yang sempurna dengan adanya pemerintahan yang adil.28 Mempertimbangkan bahwa Pemilu merupakan momentum sekaligus upaya untuk menegakkan kekuasaan ideal yang akan memperjuangkan kepentingan umat, maka penting halnya untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Dengan demikian, turut serta dalam Pemilu dapat dikategorikan wajib, meskipun hukum awalnya mubah, karena ia menjadi sarana untuk menegakkan yang wajib, yaitu memilih pemimpin. Sebagaimana kaidah fiqh: “Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya menjadi wajib”.
Dalam konteks Pemilu di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa atas wajibnya memilih pemimpin dalam Pemilu.29 Hal ini tertuang dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Padang Panjang pada 26 Januari 2009 / 29 Muharram 1430 H, yang menyatakan sebagai berikut30:
- Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa;
- Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan Imamah dan Imarah dalam kehidupan bersama;
- Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat;
- Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib;
- Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.
Fatwa MUI memang bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.31 Fatwa MUI tidak mengikat umat secara keseluruhan, hanya mengikat bagi orang-orang maupun kelompok yang memiliki kepentingan dengan fatwa MUI tersebut. Namun, kedudukan MUI sebagai wadah ulama membuat fatwanya dapat dijadikan rujukan dan pedoman tertentu bagi umat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh satu kesimpulan, yaitu ikut serta dalam Pemilu (memilih/mencoblos) menjadi sesuatu yang perlu dan penting untuk dilaksanakan oleh umat Islam, termasuk umat Islam di negara Indonesia yang mengadopsi praktik demokrasi.
b. Partisipasi Politik sebagai Manifestasi dari al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an Munkar
Telah disebutkan di uraian sebelumnya, bahwa demokrasi seringkali dipersepsikan sama dengan konsep syura dalam Islam. Dengan menafsirkan konsep syura sebagaimana disebutkan dalam pembahasan tentang demokrasi, dapat dikatakan bahwa syura adalah suatu prinsip yang menolak elitisme, yaitu suatu pandangan yang menegaskan bahwa hanya pemimpin yang tahu bagaimana cara menyusun dan mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang mengikuti setiap kemauan elit. Konsep syura dimaksudkan untuk menjadi benteng yang kuat melawan pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh penguasa negara, mencegah dan menghentikan kezaliman pemimpin, serta melawan sistem-sistem lain yang menindas hak-hak politik rakyat. Hal ini sejalan dengan demokrasi, dan pemilihan umum (Pemilu) adalah instrumen untuk melakukan evaluasi terhadap pemimpin dan wakil-wakil sebelumnya.32
Partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah bentuk upaya untuk menganjurkan yang baik/maslahah dan mencegah keburukan, sebagaimana kewajiban setiap Muslim yang dilandasi oleh al-Quran dalam surat at-Taubah ayat 97: “Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain; mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar….” Di konteks tulisan ini, ayat tersebut dapat diartikan berhubungan dengan bentuk kritik dan saran konstruktif yang mampu disampaikan oleh warga negara, baik secara individual maupun kolektif, kepada pemerintah dan wakil-wakil mereka. Momentum Pemilu adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi masa lalu dan membangun harapan agar masa esok lebih baik, setidaknya dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
c. Pemilihan Umum sebagai Langkah Awal Pengartikulasian Aspirasi Umat Islam
Bentuk ekspresi dan perjuangan aspirasi umat Islam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu melalui pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan struktural menekankan pada transformasi dalam institusi sosial, politik, dan hukum, sedangkan pendekatan kultural menekankan pada transformasi dalam tingkah laku sosial.33 Dalam konteks Pemilu, maka pendekatan yang diambil dan coba dilakukan adalah pendekatan struktural karena menggunakan jalur politik dalam pengamalannya.
Pada dasarnya, Islam memang tidak dapat dipisahkan dari politik sebagai bentuk pengamalan atas syura, Ma’ruf Nahi Munkar, serta memperjuangkan keadilan dan mendakwahkan amal soleh. Politik berguna untuk mendekatkan perjuangan kaum Muslimin dalam menjalankan kehidupan sesuai ajaran Islam, mendakwahkan nilai agama, serta memberi solusi-solusi kreatif yang dapat mewujudkan nilai dan kehidupan Islami pada tingkat individual, keluarga, masyarakat, organisasi, dan negara. Pendekatan struktural dapat dilakukan dalam beragam bentuk, baik melalui kegiatan Legislasi dengan menghadirkan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, maupun kebijakan publik lainnya. Beberapa pencapaian politis umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam dilihat dari ada dan diakuinya Departemen Agama, disahkannya UU Perkawinan, pengakuan atas sistem pendidikan agama Islam yang menjangkau tingkat Ibtidaiyah sampai universitas, termasuk pula pesantren-pesantren -modern maupun salaf-, adanya Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, penataan Bank Islam dan keuangan Syariah, dan pembentuan Badan Amil Zakat.
Dalam konteks yang demikian, tentunya hal ini bukan dalam rangka membentuk negara Islam, mengingat Indonesia (dalam konsep Muhammadiyah) telah diakui sebagai darul ahdi wa syahadah, yaitu negara atas dasar konsensus bersama. Akan tetapi, yang diinginkan adalah negara Indonesia mampu merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal melalui perjuangan konstitusional dan demokratis agar dapat menghadirkan masyarakat madani yang dicita-citakan oleh umat Islam. Dalam hal ini, aspirasi Islam menjadi sesuatu yang integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan bersifat disintegratif atau sekadar alternatif belaka. Memperjuangkan Islam untuk mewarnai kekuasaan di negara Indonesia ke depan adalah sebuah keniscayaan, mengingat siyasatul ummah mabniyyatun ala aqidatiha. Politik atau kekuasaan tergantung dan harus berdasar pada aqidahnya umat. Ajaran Islam sebagai ajaran yang sempurna, komprehensif, dan mengakomodasi nilai-nilai kebaikan universal perlu dimasukkan sebagai bahan pertimbangan utama dalam membentuk kebijakan publik, dan umat Islam adalah garda terdepan untuk mengaspirasikan hal tersebut.
Upaya-upaya untuk menghalangi aspirasi dan kepentingan umat Islam diranah struktural, dalam hal ini politik, merupakan sesuatu yang ahistoris dan mustahil. Mengingat, perjuangan umat Islam dalam ranah politik, hukum, dan sosial di negeri ini sudah sangat panjang, bahkan sejak sebelum Indonesia terbentuk, ketika masih dalam bentuk kesultanan- kesultanan Islam. Termasuk dalam perjalanan merumuskan identitas kebangsaan dan kenegaraan, baik masa pra-kemerdekaan maupun awal kemerdekaan, umat Islam telah turut berpartisipasi secara aktif dalam ranah politik. Bung Karno, seorang Bapak Proklamator RI, pun secara tegas telah mempersilahkan umat Islam untuk memperjuangkan aspirasi berdasarkan ajaran agamanya melalui lembaga parlemen.34 Perjuangan politik Islam adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam dalam masyarakat dan bangsa Indonesia dalam rangka menebarkan rahmat bagi alam semesta. Mengingat, latar belakang historis format perjuangan umat Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk Indonesia yang kuat, maju,
adil, sejahtera, dan bermartabat, dianjurkan kepada seluruh umat Islam di Indonesia untuk melanjutkan tradisi perjuangan tersebut. Salah satu langkah termudahnya adalah dengan memilih pemimpin dan wakil yang berdasar pada ijtihad pribadi telah memenuhi standar untuk mampu mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam di masa kini dan masa yang akan datang.
MEYAKINKAN KEMBALI PARA PEMILIH GOLPUT
Tidak dapat dipungkiri, bahwa golongan putih (golput) adalah realitas politik yang wajar dalam setiap pemilihan umum. Di Indonesia, istilah golput mulai mengemuka di tahun 1971 sebagai bentuk protes terhadap rezim Orde Baru yang dianggap telah mendistorsi pemaknaan dari Pemilu yang bebas dan jujur. Pemilu di masa itu dianggap hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan Orde Baru yang sama sekali tidak memuat unsur-unsur demokratis.35 Abdurrahman Wahid dalam bukunya yang berjudul Mengapa Kami Memilih Golput menjelaskan beragam kategori golput yang seringkali muncul di kalangan rakyat Indonesia, yakni: golput kritis karena kesadaran sendiri yang menilai bahwa dirinya lebih baik golput; golput ikut-ikutan karena menyaksikan banyak teman atau kerabatnya yang memilih golput; golput akibat partainya tidak lolos verifikasi; golput karena sakit hati dan kecewa; dan golput apatis karena sama sekali tidak peduli dengan kondisi politik.36 Terdapat pula beragam faktor yang mendasari seseorang atau kelompok untuk memilih golput, di antaranya kejenuhan akibat adanya Pemilu yang terus-menerus, kekecewaan terhadap calon pemimpin atau wakil mereka yang tidak mampu memenuhi ekspektasi dan menunaikan janji, kurangnya akseptabilitas dari calon yang tersedia, kebingungan atas calon yang terlalu banyak, dan sosialisasi Pemilu yang kurang. Selain itu, faktor administratif seperti tidak terdaftar di DPT ataupun telat mengurus
formulir pindah memilih juga menjadi penyebab seseorang akhirnya golput.
Namun, berdasar uraian-uraian yang telah disampaikan sebelum ini, tentang pentingnya memanfaatkan momentum Pemilu untuk mewujudkan pemerintahan dan kepemimpinan yang adil berdasar aspirasi umat dan kepentingan bangsa, maka memilih pemimpin dan wakil di Parlemen menjadi sesuatu yang sangat diperlukan. Apabila setiap warga negara, terutama mereka yang Muslim, memiliki kesempatan untuk memilih dan telah terdaftar sebagai pemilih yang sah, maka alangkah baiknya untuk menggunakan hak pilihnya. Selain itu, sebagai seorang Muslim, memilih/mencoblos bukan hanya diniatkan untuk kepentingan dunia atau sekadar menjalankan hak yang diakui dalam konstitusi, melainkan meniatkannya untuk mewujudkan Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur, Islam yang Rahmatan lil Alamin, sekaligus doa agar setiap pemimpin dan wakil yang dipilih dan terpilih adalah mereka yang selalu dirahmati oleh Allah SWT dan mampu menciptakan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. (2015). Islam dan demokrasi: respons intelektual Muslim Indonesia
terhadap konsep demokrasi, 1966-1993. Jakarta: Prenadamedia Group.
Al-Mawardi, Imam, Abdul Hayyie Al-Kattani, dan Kamaluddin Nurdin. (2000). Hukum tatanegara dan kepimpinan dalam takaran Islam. Jakarta: Gema Insani.
Amir, Zainal Abidin, dan Imam Anshori Saleh. (2013). Soekarno dan NU: titik temu nasionalisme. LKIS PELANGI AKSARA.
Apter, David A. (1997). Introduction of Political Analysis. Cambridge dan Massachussets: Winthrop Publisher, Inc.
Ash-Shidieqy, T.M. Hasbi. (1971). Ilmu kenegaraan dalam fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Bubalo, Anthony, Greg Fealy, and Whit Mason. (2008). Zealous Democrats: Islamism and Democracy in Egypt, Indonesia, and Turkey. New South Wales: Lowy for International
Policy.
Budiardjo, Miriam. (2017). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Caksono. [ INFOGRAFIS ] Fatwa MUI Memilih Pemimpin dalam Pemilu. Diakses melalui laman Media Indonesia http://mediaindonesia.com/read/detail/225869-infografis- fatwa-mui-memilih-pemimpin-dalam-pemilu pada 4 April 2019.
Dahl, Robert. (1989). Democracy and its Critics. Yale University Press.
Dahl, Robert. (1982) Dilemma of Pluralist Democracy. New Haven dan London: Yale University Press.
Darmawan, Ikhsan. (2013). Analisis sistem politik Indonesia. Jakarta: Alfabeta.
Esposito, John L. (ed.) (1984). Voices of Resurgent Islam. New York: Oxford University Press.
Indiyanto, Agus. (2013). Agama di Indonesia dalam angka: dinamika demografis berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 dan 2010. Program Studi Agama dan Lintas Budaya.
Mayo, Henry B. (1960). An Introduction to Democratic Theory. New York: Oxford University Press.
Media Online, Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Indonesia, Hukum Online. Diakses di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5837dfc66ac2d/kedudukan-fatwa-mui- dalam-hukum-indonesia pada 4 April 2019.
Rais, Dhiauddin. (2001). Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Ridha, Adnan Ali. (1985). Al-Syura la al-Dimuqrathiyyah. Kairo: Dar al-Shawah.
Schmitter, Philippe and Terry L. Karl dalam “What Democracy is… and not” dalam Journal of Democracy, Vol.2 No.3, Summer 1991.
Shalih Hafizh. (1988) Al-Dimuqrathiyyah wa Hukm al-Islam fiha. Beirut: Dar al-Nahdah al- Islamiyah.
Sjadzali, Munawir. (1990). Islam dan tata negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran. Penerbit Universitas Indonesia.
Suseno, Nuri. (2013). Representasi Politik: dari Ajektiva ke Teori. Depok: Puskapol UI. Wahid, Abdurrahman, dan H. D. Halim. (2009). Mengapa kami memilih golput. Sarekat Golput
Nusantara.
Zallum, Abdul Qadim. (1994). Demokrasi Sistem Kufur: Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.